Bagaimana Penyakit Jantung dan Diabetes Menggantikan Wabah Penyakit Di Indonesia?
Dulu, orang Indonesia takut sama kolera. Sekarang? Yang bikin orang meninggal paling banyak justru gula dan jantung. Ironisnya, saat kita merasa dunia makin modern dan canggih, penyakit yang membunuh kita bukan lagi virus menular, tapi pola hidup sendiri.
Pergeseran penyebab kematian ini bukan kebetulan. Ini adalah cerminan gaya hidup, pola makan, dan kebijakan kesehatan yang berubah. Saya sendiri dulu berpikir penyakit jantung cuma buat orang kaya atau yang sudah tua. Tapi nyatanya, makin banyak anak muda yang terkena serangan jantung di usia 30-an. Kenapa bisa begitu?
Dari Infeksi ke Degeneratif
Sebelum era 2000-an, penyakit infeksi seperti TBC, diare, dan malaria masih mendominasi angka kematian di Indonesia. Tapi sekarang, penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung koroner, stroke, dan diabetes mulai naik daun dan menjadi pembunuh utama.
Menurut data Kementerian Kesehatan, lebih dari 70% kematian di Indonesia saat ini disebabkan oleh PTM. Penyakit jantung duduk di peringkat pertama, diikuti oleh stroke dan diabetes. Ini bukan cuma angka statistik, ini realitas yang saya lihat sendiri di lingkungan sekitar.
Gaya Hidup Modern yang Bikin Sakit
Perubahan besar terjadi saat kota-kota berkembang pesat. Mobilitas naik, tapi aktivitas fisik turun drastis. Orang-orang makin jarang jalan kaki, lebih banyak duduk, dan terlalu sibuk untuk olahraga. Di saat yang sama, makanan cepat saji dan minuman manis jadi konsumsi harian.
Kombinasi ini memicu ledakan kasus obesitas, tekanan darah tinggi, dan gula darah tak terkendali. Bayangkan, dalam satu hari kita bisa minum kopi susu, bubble tea, dan ngemil gorengan tanpa merasa ada yang salah. Padahal semua itu adalah pemicu utama gangguan metabolik yang bisa berujung kematian dini.
Edukasi Masih Kurang, Deteksi Terlambat
Satu masalah besar lainnya adalah rendahnya literasi kesehatan. Banyak orang Indonesia baru sadar punya penyakit jantung atau diabetes saat sudah parah, karena tidak pernah periksa rutin atau mengabaikan gejala awal. Padahal, deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa.
Di sisi lain, masih banyak mitos yang beredar—seperti “diabetes itu cuma penyakit keturunan” atau “jantung cuma menyerang orang tua”. Mitos ini menyesatkan dan membuat kita terlena.
Baca artikel lainnya : Kesenjangan Kesehatan Global: Mengapa Harapan Hidup di Jepang dan Indonesia Berbeda Puluhan Tahun?
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Solusinya sebenarnya sederhana, tapi butuh komitmen besar. Mulai dari:
-
Perbanyak aktivitas fisik setiap hari
-
Kurangi konsumsi gula, garam, dan lemak jenuh
-
Periksa kesehatan secara rutin, minimal 6 bulan sekali
-
Edukasi diri dan orang sekitar tentang bahaya penyakit degeneratif
Pemerintah juga perlu lebih gencar dalam promosi hidup sehat, meningkatkan akses ke deteksi dini dan layanan kesehatan berkualitas, terutama di daerah.
Dulu kita takut wabah karena bisa menyebar cepat dan membunuh dalam hitungan hari. Sekarang kita harus takut gaya hidup sendiri, karena ia membunuh diam-diam, pelan tapi pasti. Pilihannya ada di tangan kita: mau hidup panjang dan sehat, atau hidup cepat tapi singkat?
Kesenjangan Kesehatan Global: Mengapa Harapan Hidup di Jepang dan Indonesia Berbeda Puluhan Tahun?
Kesenjangan Kesehatan Global, “Orang Jepang bisa hidup sampai usia 84 tahun, sedangkan rata-rata orang Indonesia hanya 71 tahun.” Angka ini bukan hanya statistik, tapi refleksi mendalam tentang ketimpangan yang terjadi di dunia kita hari ini. Kok bisa ya, dua negara di Asia yang tak terlalu jauh secara geografis, punya perbedaan harapan hidup yang begitu drastis?
Sebagai warga Indonesia, saya sering bertanya-tanya: apakah kita memang takdirnya kalah sehat? Atau ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari negeri sakura?
Sistem Kesehatan yang Beda Kelas
Hal pertama yang paling mencolok adalah akses terhadap layanan kesehatan. Jepang punya sistem asuransi kesehatan universal yang menjamin warganya mendapat layanan medis berkualitas tanpa memikirkan biaya. Pemerintah mereka secara aktif mengatur biaya pengobatan agar tetap terjangkau.
Di sisi lain, Indonesia masih berjuang dengan sistem BPJS yang meskipun niatnya bagus, tapi pelaksanaannya sering bikin frustrasi. Antrian panjang, rujukan berbelit, dan keterbatasan fasilitas di daerah-daerah membuat masyarakat enggan untuk cek kesehatan secara rutin. Padahal, pencegahan jauh lebih murah dari pengobatan.
Gaya Hidup dan Pola Makan
Coba lihat pola makan orang Jepang. Mereka terbiasa makan ikan, sayuran segar, teh hijau, dan nasi dalam porsi kecil. Mereka juga punya budaya makan perlahan dan tidak berlebihan. Kombinasi ini membuat angka obesitas mereka sangat rendah.
Bandingkan dengan Indonesia yang sudah lama “diinvasi” junk food, minuman manis, dan gaya hidup sedentari. Di kota-kota besar, makin sedikit orang yang jalan kaki atau bersepeda. Aktivitas fisik tergantikan oleh scrolling TikTok sambil ngemil boba.
Pendidikan dan Kesadaran Kesehatan
Tingkat literasi kesehatan masyarakat Jepang juga jauh lebih tinggi. Mereka tahu kapan harus ke dokter, rajin periksa kesehatan, dan sadar pentingnya gaya hidup sehat sejak kecil. Di sekolah, pelajaran tentang gizi, olahraga, dan kesehatan mental sudah jadi kurikulum.
Di Indonesia? Pendidikan kesehatan sering kali baru serius dibicarakan saat seseorang sudah terkena penyakit. Kesadaran tentang kesehatan mental pun masih rendah dan sering dianggap remeh.
Faktor Ekonomi dan Lingkungan
Jepang adalah negara maju dengan tingkat kemiskinan rendah dan kualitas udara yang relatif bersih. Sebaliknya, banyak wilayah di Indonesia masih bergulat dengan kemiskinan ekstrem, pencemaran udara, serta sanitasi yang buruk. Semua ini jadi faktor risiko penyakit kronis maupun menular. yang membuat Kesenjangan Kesehatan Global in menjadi semakin luas
Baca artikel lain seputar : Persiapan Dirawat di Rumah Sakit: Panduan Biar Gak Panik
Bisa Nggak Sih Kita Menyusul?
Jawabannya: bisa, tapi butuh kerja keras dari semua pihak. Pemerintah harus memperbaiki Kesenjangan Kesehatan Global dan memperluas akses. Masyarakat juga perlu mulai berubah, dari hal sederhana: perbanyak gerak, kurangi gula, tidur cukup, dan rutin periksa kesehatan.
Kalau Jepang bisa memulai revolusi kesehatannya sejak 1950-an, Indonesia pun bisa menciptakan generasi sehat kalau dimulai sekarang.
“Kita semua ingin hidup lama, tapi jarang yang mau hidup sehat.” — itulah kenyataannya. Tapi jika kita ingin menghapus kesenjangan itu, kita harus mulai dari diri sendiri. Yuk, jadi generasi yang bukan cuma panjang umur, tapi juga berkualitas!